Setiap manusia yang ada di muka bumi ini pasti pernah mengalami yang namanya kerisauan di dalam hatinya, tidak terkecuali saya sendiri yang terkadang selalu risau dengan masa depan yang belum pasti. Untuk agar tetap tabah, dan tawaqal menghadapi ujian yang telah Allah berikan untuk hambanya.
Maka sebaiknya kita mencoba mengenal mendekati Allah SWT, agar dalam keadaan dan kondisi apapun kita selalu merasa tenang, bahkan jika hidup ini selalu merasa sempit dan sulit sekalipun. Dan berikut ini nasehat dari habib umar bin hafidz yang semoga bisa bermanfaat untuk kita semua.
Bagaimana cara mengenal Allah SWT
Kita memuji Allah yang telah memuliakan kita dengan wujudnya ahli basiroh (orang terbuka mata hatinya) yang dapat membantu untuk membuka mata batin orang lain (tabsir).
1. Bersyukur
Kita bersyukur kepada Allah yang memancarkan cahaya-Nya kepada ahli qulb (orang yang suci hatinya) bagi membantu orang lain pula mendapat cahaya dari Allah untuk hati mereka (tanwir).
2. Berakal
Akal adalah karunia Allah yang sangat besar kepada manusia. Allah menciptakannya sebagai alat yang penting untuk mencapai hakikat.
Seseorang yang menggunakan akalnya dengan baik untuk memahami hakikat maka dia akan menggapai makam yang tinggi di sisi Allah sehingga hatinya dibawa ke dalam lautan hakikat dan cahaya-Nya.
Akal merupakan roh idhofi yaitu perkara rohani yang bernisbat kepada roh. Manusia adalah penyimpan rahsia Allah kerana roh yang ada padanya ialah hembusan Allah sebagaimana Firman-Nya, “Tatkala Aku sempurnakan kejadian insan lalu Aku tiupkan roh-Ku ke dalamnya maka mereka (malaikat) sujud kepadanya.
Akal juga dikenali sebagai Latifah Ilahiyyah (perkara halus yang berbangsa kepada Tuhan). Selain akal, perkara rohani yang juga termasuk Latifah Ilahiyyah ialah roh, hati (qolbu) dan nafsu (jiwa). Kesemua ini ialah rahasia halus (sirr) yang Allah letakkan dalam diri insan sebagai perantara untuknya mencapai hakikat.
3. Bisa Mengenali Nafsu
Nafsu sungguhpun ia selalu bisa difahami sebagai sesuatu yang buruk dan jahat namun sebenarnya nafsu mempunyai tingkatan-tingkatannya. Nafsu yang buruk ialah yang berada pada tingkatan yang bawah yaitu nafsu ammarah dan lawwamah. Manakala tingkatan-tingkatan yang berikutnya yaitu nafsu mutmainnah, radhiah, mardhiah dan kamilah, kesemuanya ini adalah nafsu yang baik lagi terpuji.
Pada rohani manusia pula terdapat martabat martabat wujudnya yang tersendiri yaitu roh merupakan batin kepada qolbu manakala sirr (rahasia) adalah batin kepada roh. Qolbu-roh-sirr. Maka sirr adalah perkara yang paling mendalam di dalam batin manusia.
4. Mengenali Hati
Adapun hati, ia adalah tempatnya makrifat (mengenal Allah). Adapun roh, ia adalah tempatnya mahabbah (cinta Allah). Manakala sirr adalah tempatnya musyahadah (penyaksian mata batin kepada Allah).
Seseorang yang tidak mengenal hatinya maka dia tidak akan dapat mencapai pengenalan alam roh. Demikian juga seseorang yang tiada mencapai hatinya kepada alam roh, tiada pula dia dapat menggapai alam rahsia.
5. Berdzikir
Imam Abdullah Al-Eidrus menyebutkan bahawa dzikir yang dapat membantu seorang insan dibawa kepada alam qolbu ialah memperbanyakkan La ilaha illa Allah, manakala dzikir yang dapat membuka hatinya sehingga menembus ke alam roh pula ialah memperbanyakkan Allah-Allah dan dzikir yang dapat menyampaikannya kepada alam rahasia (sirr) ialah Hu-Hu (DIA).
Seseorang yang mematikan nafsu jahatnya maka akan hidup hatinya. Nafsu jahat apabila dibiarkan hidup umpama ular yang berbahaya.
Imam Al-Haddad menyebutkan, “Berjalanlah menuju Allah sedang nafsumu dimatikan”.
Bukti kesempurnaan akal seorang yang berjalan menuju Allah ialah apabila dia dapat mengakui kelebihan rekan sebaya dan seangkatan dengannya serta memuji mereka dengan kelebihan yang dimiliki. Seseorang yang dapat melakukan hal demikian, hatinya akan disiapkan untuk meningkat tinggi dalam bermakrifat kepada Allah.
6. Makrifat
Natijah dari makrifat kepada Allah ialah dia berakhlak baik sesama manusia. Untuk memuliakan seorang yang lebih tinggi kedudukannya adalah mudah namun mengiktiraf kemuliaan orang-orang yang seangkatan dengannya atau orang yang lebih rendah kedudukannya adalah sulit kecuali seseorang yang mencapai kesempurnaan sifat tawadu.
Seseorang yang merasa susah untuk mengakui kelebihan orang yang hidup sezaman dengannya maka dia akan lebih sulit lagi untuk mengakui kelebihan orang-orang yang terdahulu.
Selagi mana seseorang yang mulia itu berpegang dengan syariat, maka kemuliaan itu hendaklah diakui tidak kira di zaman mana pun mereka berada.
Hadis menyebutkan bahawa boleh jadi seseorang yang disampaikan ilmu setelah kamu lebih memahami dari kamu yang mendengar secara terus.
Sungguhpun begitu, telah menjadi tradisi sikap Ulama Ahlus Sunnah Wa al-Jamaah untuk memuliakan orang-orang yang terdahulu.
Barang siapa yang mendakwah dirinya mencapai hakikat namun dia merendahkan orang-orang mulia sebelum mereka, ini adalah tanda tidak sempurna akalnya dalam mencapai hakikat dan makrifat.
Demikian kita dapat lihat bahawa Para Anbiya yang datang silih berganti, mereka saling membenarkan Nabi-Nabi sebelum mereka dan mengakui kelebihan mereka.
Tanda seseorang yang tawadu’ ialah apabila dia ridho seandainya dia dilayani dengan layanan yang tidak sepatutnya.
Seseorang yang memiliki sifat tawadu’ adalah tanda kesempurnaan akalnya. Seseorang yang mendapat kesempurnaan tawadu’ ialah orang yang melihat dirinya langsung tidak ada hak untuk ditunaikan oleh orang lain, sungguhpun dia sebenarnya orang yang tinggi derajatnya.
7. Ikhlas
Pada suatu hari, Al-Habib Umar bin Abdul Rahman Al-Attas sedang berjalan di sebuah lorong, tiba-tiba seorang wanita yang sedang menyapu rumahnya di tingkat atas telah membuang debu dan abu di rumahnya ke arah bawah tanpa mengetahui ada Al-Habib di situ lalu baju beliau menjadi kotor.
Ketika muridnya ingin mengetuk pintu untuk menegur perbuatan wanita itu namun dilarang oleh Al-Habib dan mengatakan, “Aku lebih layak untuk dihujani api ke arahku maka lemparan abu dan debu ini hanyalah hal yang kecil bagiku.
Seorang yang ikhlas, tandanya ialah apabila dia melaksanakan kebenaran untuk Allah ridho dengannya maka tidak kisah seandainya manusia marah dan kritik kepadanya. Pujian dan cacian orang terhadapnya adalah sama, dukungan atau kritikan orang adalah sama baginya karena yang penting Allah ridho dengannya.
Berkata Sayyidina Imam Ali R.a, “Mutu ibadah seorang hamba adalah bergantung kepada pembangunan akalnya.
Kita memohon kepada Allah semoga menerima amalan dan perkumpulan ini, mendekatkan diri kita kepada-Nya dengan sebenar-benar dekat (zulfa), menjadikan kita orang-orang yang khusus dalam mengikuti orang-orang terdahulu serta dikaruniakan ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin.