Kalimat bid’ah (بدعة) di sini adalah bentuk ISIM (Kata Benda) bukan FI’IL (Kata Kerja).
Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma’rifat (Tertentu) dan Isim Nakirah (Umum).
Nah.. kata Bid’ah ini bukanlah :
Yang merupakan bagian dari Isim Ma’rifat.
Jadi kalimat bid’ah di sini adalah Isim Nakiroh dan Kullu di sana berarti tidak ber-idhofah (Bersandar) kepada salah satu dari yang 5 di atas. Seandainya Kullu ber-idhofah kepada salah satu yang 5 di atas, maka ia akan menjadi ma’rifat. Tapi pada ‘Kullu Bid’ah’, ia ber-idhofah kepada nakiroh. Sehingga dhalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.
Ulama yang sholeh, bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Imam Nawawi ra yang bermazhab Syafi’i mengatakan.
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ
“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarkan ilmu atau menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa pengecualian itu pada perkara baru “urusan dunia” atau bid’ah duniawiyyah.
Sangat keliru jika berpendapat bahwa bid’ah yang diperbolehkan atau bid’ah yang tidak masuk neraka adalah bid’ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) karena bid’ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) ada yang hasanah (baik) dan ada pula yang sayyiah (buruk).
Semoga bermanfaat.