Wahabi selalu berlindung di balik kata “sunnah” untuk menyebarkan ideologinya. Istilah “salaf” atau “manhaj salaf”, “kembali pada Al-Qur’an dan sunnah”, “hijrah”, hingga istilah “ittiba” juga distempel Wahabi agar masyarakat mengira bahwa apa yang Wahabi sebarkan sesuai dengan sunnah Rasulullah. Bagi kalangan NU kaffah, semua istilah itu hanya rekayasa Wahabi untuk menipu umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
Karena Wahabi suka ‘dagangan’ sunnah, masjidpun mereka stempel dengan kata sunnah untuk mencari jamaah. Dengan stempel sunnah, masjid tersebut mereka anggap sebagai masjid yang sesuai dengan syariat. Di luar setempel masjid sunnah, berarti masjid bid’ah atau masjid yang tidak sesuai dengan syariat. Tentunya yang mereka serang atau mereka anggap masjid bid’ah adalah masjid Aswaja. Lebih khususnya masjid NU.
Ciri-ciri masjid Wahabi yang berstempel “Masjid Sunnah” untuk menipu masyarakat di antaranya:
1. Masjid Wahabi anti tilawah, murattal atau puji-pujian, karena hal itu menurut mereka adalah bid’ah. Wahabi merasa terganggu dengan suara bacaan Al-Qur’an.
Benarkah bacaan shalat atau puji-pujian setelah adzan sebagaimana pendapat Wahabi adalah bid’ah tercela? Menurut Aswaja tidak benar.
Al-Hafizh as-Sakhawi berkata:
وَقَدِ اخْتُلِفَ فِيْ ذَلِكَ هَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ أَوْ مَكْرُوْهٌ أَوْ بِدْعَةٌ أَوْ مَشْرُوْعٌ وَأسْتُدِلَّ لِلأَوَّلِ بِقَوْلِهِ تَعَالىَ : وَافْعَلُوا الْخَيْرَ ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ الصَّلاَةَ وَالسَّلاَمَ مِنْ أَجَلِّ الْقُرَبِ لاَ سِيَّمَا وَقَدْ تَوَارَدَتْ اْلأَخْبَارُ عَلىَ الْحَثِّ عَلىَ ذَلِكَ مَعَ مَا جَاءَ فِي فَضْلِ الدُّعَاءِ عَقِبَ اْلأَذَانِ وَالثُّلُثِ اْلأَخِيْرِ مِنَ اللَّيْلِ وَقُرْبِ الْفَجْرِ وَالصَّوَابُ أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ يُؤْجَرُ فَاعِلُهُ بِحُسْنِ نِيَّتِهِ. (الحافظ السخاوي، القول البديع في الصلاة على الحبيب الشفيع، 280).
“Pembacaan shalawat menjelang shalat tersebut diperselisihkan, apakah dihukumi sunnah, makruh, bid’ah, atau disyari’atkan? Pendapat yang pertama berdalil dengan firman Allah: “Kerjakanlah semua kebaikan.” Telah dimaklumi bahwa membaca shalawat dan salam termasuk ibadah sunnah yang paling agung, lebih-lebih telah datang sekian banyak hadits yang mendorong hal tersebut, serta hadits yang datang tentang keutamaan berdoa setelah adzan, sepertiga malam dan menjelang fajar. Pendapat yang benar adalah, bahwa hal tersebut bid’ah hasanah (kreativitas bagus), yang pelakunya diberi pahala dengan niatnya yang baik.” (Al-Hafizh as-Sakhawi, al-Qaul al-Badi’, hal. 280).
2. Masjid Wahabi anti biji tasbih karena mereka menganggap bahwa biji tasbih adalah tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir).
Benarkah klaim Wahabi bahwa penggunaan biji tasbih menyerupai orang kafir? Sangat tidak benar.
Mufti al-Azhar, Syekh Athiyah Shaqr menjawab:
ﻭﺇﻟﻰ ﺟﺎﻧﺐ ﺇﻗﺮاﺭ اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻬﺬا اﻟﻌﻤﻞ ﻭﻋﺪﻡ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻴﻪ، اﺗﺨﺬ ﻋﺪﺩ ﻣﻦ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻭاﻟﺴﻠﻒ اﻟﺼﺎﻟﺢ اﻟﻨﻮﻯ ﻭاﻟﺤﺼﻰ ﻭﻋﻘﺪ اﻟﺨﻴﻂ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻭﺳﻴﻠﺔ ﻟﻀﺒﻂ اﻟﻌﺪﺩ ﻓﻰ اﻟﺘﺴﺒﻴﺢ ﻭﻟﻢ ﻳﺜﺒﺖ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻴﻬﻢ
Di samping Nabi menyetujui terhadap Sahabat yang membaca tasbih dengan batu kecil [HR Abu Dawud] serta Nabi tidak mengingkarinya, ternyata ada banyak Sahabat dan ulama Salaf yang menjadikan batu, kerikil, dan pintalan tali sebagai sarana untuk menghitung bacaan tasbih, dan mereka tidak mengingkarinya.
3. Wahabi sangat alergi dengan kaligrafi karena rasulullah tidak pernah mengajarkan kaligrafi sehingga hukumnya bid’ah mungkar.
Menurut Syafi’iyah, kaligrafi pada masjid tidak haram selagi dalam batas kewajaran sebagaimana merujuk pada sejarah:
Khalifah Umar bin Abdul Aziz Al-Umawi lahir pada tahun 61H, menjadi khalifah dari tahun 99H hingga 101H/717M hingga 720M. Beliau telah memperluas bangunan masjid Nabawi di Madinah, dan mengarahkan agar ditulis ayat-ayat Al-Quran dengan emas di sepanjang dinding mihrab masjid tersebut.
4. Masjid Wahabi tidak ada tradisi salam-salaman setelah shalat karena dihukumi tradisi yang bertentangan dengan syariat.
Benarkah salaman setelah shalat adalah tradisi tercela sebagaimana menurut Wahabi? Tidak benar.
عَنْ سَيِّدِنَا يَزِيْد بِنْ اَسْوَدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَنَّهُ صَلَّى الصُّبْحَ مَعَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وَسَلّمْ. وَقالَ: ثُمَّ ثَارَ النَّاسُ يَأخُذوْنَ بِيَدِه يَمْسَحُوْنَ بِهَا وُجُوْهَهُمْ, فَأَخَذتُ بِيَدِهِ فَمَسَحْتُ بِهَا وَجْهِيْ.(رواه البخارى)
“Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad bahwa ia shalat subuh bersama Rasulallah, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk menyalami Nabi, lalu mereka mengusapkan ke wajahnya masing-masing, dan begitu juga saya menyalami tangan Nabi lalu saya usapkan ke wajah saya.” (H.R. Bukhari, hadits ke 3360)
5. Wahabi mengharamkan Qunut Shubuh. Jadi Qunut Shubuh menurut Wahabi adalah bid’ah tercela.
Sangat tidak benar jika Qunut shubuh hukumnya bid’ah tercela sebagaimana tuduhan Wahabi.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا (رواه أحمد والدارقطني)
“Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik. Beliau berkata, “Rasulullah Saw senantiasa membaca qunut ketika shalat subuh sehingga beliau wafat.” (Musnad Ahmad bin Hanbal, juz III, hal. 162 [12679], Sunan al-Daraquthni, juz II, hal. 39 [9]).
6. Wahabi menganggap bahwa meluruskan shaf harus dengan menempel antar kaki jamaah. Kalau belum menempel maka belum disebut merapatkan shaf sehingga shalatnya tidak sempurna.
Tepatkah kesempurnaan shalat dilihat dari menempelnya kaki antarjamaah sebagaimana anggapan Wahabi? Tidak tepat, sebab yang menempelkan kaki hanya seorang sahabat. Tidak semua sahabat nabi melakukannya. Ini dalilnya:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»
Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallallah alaih wasallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” Ada seorang di antara kami yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)
7. Masjid Wahabi anti do’a bersama karena do’a bersama menurut Wahabi adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Apakah tepat pendapat Wahabi tersebut? Tidak tepat sebagaimana dalil berikut:
عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك
Artinya : Dari Habib bin Maslamah al-Fihri RA –beliau seorang yang dikabulkan do’anya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdo’a, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan do’a mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak).
Jelaslah bahwa istilah “Masjid Sunnah” adalah proyek Wahabi yakni misi mewahabikan masyarakat melalui masjid. Selicik apapun, hujjah Wahabi sangat mudah untuk dipatahkan karena faktanya masjid yang tanpa embel-embel sunnah lebih nyunnah daripada merk sunnah, sebab embel-embel sunnah hanyalah propaganda kaum Wahabi.
Keterangan: Disadur dari Blog Aswaja Muba milik Suryono Zakka dengan judul asli ‘Ciri Masjid Wahabi.