Sebuah Pengikhlasan Pengkhianatan

Posted on

Aku tergugu menatap benda pipih di tangan. Sebuah aplikasi media sosial terpasang di sana. Menampilkan sebuah post yang baru saja lewat di beranda.

Kontributor : Asriani Putri Lubis

Sebuah wajah cantik nan jelita menjadi photo sampul sebuah  akun facebook seorang lelaki. Senyumnya manis seolah menyiratkan kebahagiaan. Berjuta sanjungan dan taburan kata selamat dari pertemanan Si Pemiliknya.

Gunawan, photo berwajah ayu itu miliknya. Wanita yang menjadi photo sampul di akunnya adalah tunangannya. Mereka baru saja meresmikan ikatan yang semakin kuat itu. 

Lalu, setelahnya akan meresmikan ke jenjang berikutnya dimana semua orang akan mengalami fase kehidupan berkeluarga.

Kugerakkan jari menscrol semua post melewati post tadi. Cepat, jariku bergerak secepat gemuruh di dada. Ada rasa sesak di dalam sana yang coba untuk diredam, tapi tak berhasil.

Terbayang kisah lalu yang seharusnya sudah kututup buku. Mengingatnya membuat hati berteriak. Merasa terkhianati oleh sebuah persahabatan yang dirajut dari kecil.

Sungguh, mengapa nasibku serupa itu. Wanita yang semanis itu menjadi duri dalam hubungan. Menganggapnya saudara ternyata setan perusak cinta.

Dia adalah Diana. Kawan sedari kecil semasih masa ingusan dulu. Besar bersamanya hingga dewasa kemudian berjanji akan menikah bersama pula.

“Kau dan aku, kita menikah di hari dan bulan yang sama ya?!” Janjinya kepadaku kala itu.

Namun, ternyata dia sendiri mengingkari malah menjadi duri. Gunawan, lelaki yang kukenali sebagai kekasih direbut paksa olehnya. Mengambilnya dengan penuh tak berperasaan tak menghargaiku sebagai kawan.

Sempat mengelak kala kupertanyakan, tapi terbukti beberapa hari sesudahnya mereka mengikat janji dalam acara resmi yang dihadiri kedua belah keluarga.

Ah, nasibku yang tak beruntung. Memelihara kawan yang culas tak punya perasaan. Menangisi diri dikhianati sampai air mata mengering.

Artikel Sejenis  Cinta menurut Jalaluddin Rumi dan Imam al Ghazali

“Mit, belum tidurkah?” Aku tersentak sejenak. Tersadar, ternyata sedari tadi diperhatikan olehnya. Wanita paruh baya yang telah melahirkan ku itu kini tepat di belakangku.

“Belum Ma, Mita belum ngantuk.” Mencoba untuk tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa.

“Yang sabar ya Nak, semoga kamu diberi pengganti yang lebih baik darinya.” 

Ucapan serupa doa itu terlontar dari bibirnya. Suaranya yang tenang membuatku terhibur sejenak, meski hati masih terasa sakit.

Segera, setelah wejangannya yang menentramkan hati itu, kembali kuraih benda pipih yang sempat kuletakkan tadi.

Memberi tanda like pada postingan itu, dan mengucapkan selamat.

‘Semoga Diana dan Gunawan berbahagia.’ Tulisku begitu di kolom komentar. Lalu, kublokir keduanya dan kunonaktifkan data. Kemudian mematikan ponsel untuk pergi tidur.

Berharap semoga hati ini lebih baik esok hari.

Medan, 15 Agustus 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *