Pernahkah kita bertanya, kenapa mazhab fiqih dalam Islam itu hanya ada empat saja? Mazhab Hanafiy diasas oleh Imam Abu Hanifah; mazhab Malikiy diasas oleh Imam Malik bin Anas; mazhab Syafi’iy diasas oleh Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, dan mazhab Hanbaliy diasas oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal –رضي الله عنهم-.
Apakah hanya empat orang itu saja yang hebat dalam fiqih sepanjang sejarah Islam? Kenapa tidak ada, misalnya, mazhab ‘Bakriyyah’ (nisbah kepada Abu Bakar ash-Shiddiq –رضي الله عنه-), mazhab ‘Umariyyah (nisbah kepada Umar bin Khattab –رضي الله عنه-) atau mazhab Hasaniyyah (nisbah kepada Hasan al-Bashri), mazhab Sa’idiyyah (nisbah kepada Sa’id bin Musayyab), mazhab Zuhriyyah (nisbah kepada Ibnu Syihab az-Zuhri) رضي الله عنهم dan sebagainya.
Bukankah Sa’id bin Musayyab dan Ibnu Syihab az-Zuhri adalah guru para imam yang empat itu (baik langsung maupun tidak langsung)? Tentu mereka lebih alim dan faqih, tapi kenapa tidak ada mazhab yang dinisbahkan kepada mereka?
Yang penting kita pahami adalah bahwa istilah ‘mazhab’ meskipun bisa diartikan dengan pendapat (seperti dalam kalimat : هذا ما ذهب إليه فلان “ini pendapat si fulan”) tapi sesungguhnya pengertian mazhab tidak sesederhana itu.
Anda memang bisa mengatakan, “Mazhab saya tentang bahagia adalah bahagia itu sederhana…” Atau misalnya mengatakan, “Mazhab saya dalam hidup ini ‘terhimpit ingin diatas, terkurung ingin diluar’ “ (terjemahan bebas dari peribahasa Minang), dan sebagainya.
Tapi tentu mazhab yang Anda maksudkan di sini hanya berarti pendapat atau pilihan. Boleh jadi saja apa yang Anda sebut sebagai mazhab itu adalah hasil plagiasi, ngambil punya orang atau catut pendapat seorang pakar lalu dinisbahkan pada diri sendiri biar kelihatan ‘hebat’…
Sementara mazhab dalam dunia fiqih, sesungguhnya terbentuk melalui proses yang panjang. Mazhab bukanlah hasil pikiran seorang remaja yang sedang ‘puber’ ilmu lalu kemudian mendapat keberuntungan sehingga namanya diabadikan sebagai salah satu imam mazhab. Tidak.
Mazhab dalam fiqih (begitu juga dalam pemikiran) terbentuk melalui serangkaian proses ilmiah yang panjang dan berat, serta seleksi alam yang ketat. Mazhab bisa diibaratkan seperti sebuah madrasah besar yang menjadi tempat berkumpulnya para ulama yang memiliki pola dan sudut pandang yang relatif sama. Ini tidak berarti mereka selalu sependapat dalam semua hal. Tetap saja ada perbedaan pendapat di antara mereka karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun mereka berangkat dari ushul (pondasi) pemikiran yang sama.
Namun jangan juga dibayangkan bahwa berdirinya sebuah mazhab sama seperti berdirinya sebuah madrasah atau sekolah; dimulai dengan peletakan batu pertama, lalu ada peresmian (apalagi pakai gunting pita segala), kemudian dibuka pendaftaran… (‘kan tidak mungkin Imam Abu Hanifah mengeluarkan sebuah pengumuman, “Ayo, siapa yang mau bergabung ke dalam mazhabku silahkan mendaftar…)
Mari kita simak uraian padat Imam Abu Zahrah tentang proses terbentuknya sebuah mazhab berikut ini :
المذهب يقتضي أن يتكون من منهاج علمي لفريق من الدارسين الباحثين ، يبنون فيه أصولا لتفكيرهم متميزة واضحة ، ثم يكون لكل منهاج طائفة أو مدرسة تعتنق هذه الأصول وتدافع عنها وتقويها بموالاة البحث والدراسة (تاريخ المذاهب الإسلامية ص 21)
“Mazhab terbentuk dari metode ilmiah sekelompok pengkaji dan peneliti. Di dalamnya mereka menuangkan pondasi berpikir yang jelas dan terarah. Metode yang digagas itu kemudian ‘dianut’, diperjuangkan, dibela oleh sekelompok atau madrasah, dan selalu dikokohkan dengan berbagai kajian dan penelitan yang tak kenal lelah.”
Jadi, keempat mazhab yang masih bertahan sampai saat ini sesungguhnya merupakan empat madrasah besar yang dibangun dari hasil pemikiran dan kajian para ulama sepanjang sejarah. Dan mereka tidak tampil ke panggung fiqih begitu saja. Mereka adalah hasil tempaan madrasah keilmuan yang turun temurun dari mulai generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan bermuara pada mereka.
Imam Abu Hanifah sendiri merupakan hasil tempaan para ulama ternama dari kalangan tabi’in seperti Imam Hammad bin Abi Sulaiman, Ibrahim an-Nakha’iy, asy-Sya’bi, ‘Atha` bin Abu Rabah dan para imam besar lainnya.
Mazhab yang dinisbahkan kepada beliau; Hanafiyyah, sesungguhnya bukan hasil pikiran beliau sendiri, melainkan hasil mudzakarah, mubahatsah dan kajian yang tak kenal lelah antara beliau dengan murid-murid unggulnya seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, dan lain-lain.
Imam Malik bin Anas merupakan hasil binaan dari para ulama ternama di Madinah seperti Salim bin Abdullah bin Umar, Nafi’ maula Ibnu Umar, dan Fuqaha` Sab’ah (Ahli Fiqih Yang Bertujuh). Mereka adalah Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Ubaid bin al-Harits, al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Sulaiman bin Yasar yang merupakan maula Ummul Mukminin Sayyidah Maimunah binti al-Harits, Kharijah bin Zaid bin Tsabit.
(Menyebut nama-nama mereka saja hati ini ‘gentar’ dan sangat ta’zhim pada kedalaman ilmu dan kefaqihan mereka).
Begitu juga dengan Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Ilmu Fuqaha` Sab’ah (Ahli Fiqih Bertujuh) ini diserap oleh dua imam besar; Muhammad bin Syihab az-Zuhri dan Rabi’atur Ra`yi. Kedua imam ini merupakan guru utama Imam Malik bin Anas.
Jadi, kalau ada ustadz zaman now (atau lebih tepatnya zaman new normal ) mengatakan bahwa, “Pendapat saya tentang masalah A adalah begini-begini…” Lalu ia ditanya, “Siapa guru Anda?” Ia menjawab, “Syekh Fulan…” (seorang ulama di arab sana…), kemudian ditanya lagi, “Guru Syekh Fulan itu siapa?” Ia pun terdiam, karena sanad ilmunya ‘mentok’ sampai di Syekh Fulan itu saja. Kalau ada yang seperti ini maka kita cukup angguk-angguk kepala saja sambil berbisik dalam hati: “Yang begini mau ‘menyelisihi’ para imam mazhab?”
Muncul pertanyaan, kenapa mazhab yang diakui itu hanya empat saja?
Pertama, kita telah jelaskan bahwa empat mazhab itu sudah merupakan hasil pemikiran, ijtihad, dan adu argumen para ulama lintas generasi.
Kedua, sejak terjadi fitnah pasca terbunuhnya Khalifah Utsman, banyak bermunculan hadits palsu. Ini tentu berimbas kepada fiqih. Karena bagaimanapun materi pokok fiqih adalah al-Quran dan Hadits.
Beruntung fiqih para sahabat telah direkam dengan sangat baik oleh murid-murid unggul mereka dari kalangan tabi’in, seperti Hammad bin Abi Sulaiman, Ibrahim an-Nakha’i, ‘Atha`, Ibnu Syihab az-Zuhri, Sa’id bin Musayyab, Nafi’, Mujahid dan lain-lain. Ilmu mereka ini yang kemudian diserap oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan seterusnya.
Karena itu, mazhab yang dinisbahkan kepada Umar bin Khattab, misalnya, yang tidak datang dari jalur para imam yang empat, bisa dikeragui kevalidannya, kecuali yang datang dengan riwayat yang shahih sebagaimana dirangkum dalam kitab Mushannaf Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah.
Jadi masalah utamanya terletak pada kevalidan penisbahan mazhab kepada para sahabat dan tabi’in tersebut (yang tidak melalui jalur para imam yang empat) karena banyak terjadi al-kadzib (kebohongan) dengan mencatut nama sahabat dan tabi’in. Adapun para imam mazhab, mereka memang sudah mewakafkan diri untuk mengkaji berbagai riwayat dan fiqih yang diwariskan oleh para sahabat dan tabi’in. Dan, seperti dijelaskan tadi, mazhab tidak terbentuk atas usaha satu orang saja, melainkan kerja-keras banyak orang, sehingga tingkat kevalidannya lebih meyakinkan.
Ketiga, tidak tertutup kemungkinan, memang, ada ulama yang kemampuannya ‘menyamai’ kemampuan para imam yang empat. Dan mazhab mereka memang pernah eksis. Tapi, sayangnya mazhab mereka tidak dilestarikan dengan baik oleh murid-murid mereka, seperti yang terjadi pada Imam Laits bin Sa’ad di Mesir dan Imam al-Awza’i di Syam. Atau boleh jadi mazhab itu tidak ‘lulus’ seleksi alam, seperti mazhab az-Zhahiri yang bertahan hanya sampai abad ketujuh hijriah saja.
Di samping itu, ada ulama yang sebenarnya bisa membuat mazhab sendiri (mustaqill) seperti Imam Ibnu Suraij, Imam asy-Syairazi, Imam Taqiyuddin as-Subki, Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied, bahkan juga Imam as-Suyuthi. Tapi mereka lebih memilih untuk ‘bernaung’ di bawah salah satu mazhab yang sudah ada. Kenapa? Karena, ketika mereka melakukan ijtihad, ternyata hasilnya tidak jauh beda dengan apa yang telah dihasilkan para imam mazhab yang empat.
Karena kerendahan hati mereka dan jauh dari hubb syuhrah (cinta popularitas), mereka tetap menisbahkan diri kepada mazhab yang ada.
Bagaimana? Anda berniat mendirikan mazhab sendiri agar dikenang sejarah? Ya kalau dikenang sebagai ‘mujtahid baru’. Bagaimana kalau ternyata dikenang sebagai ‘mujtahid abal-abal di masa new normal.
Karena foto para imam yang empat tidak ada maka diposting saja foto maqam mereka. Semoga tidak dicap sebagai ‘quburiyun.