Yang dimaksud Tasybih (menyerupakan), dan setiap kali ia dipahami dan tergambar di benakmu, maka itulah takyif (membagaimanakan)
Yang disebut penyerupaan adalah segala gambaran yang muncul di kepalamu dan dapat dipahami. Ketika misalnya membaca kata yadullah (tangan Allah) kemudian tergambar di benakmu adanya organ tubuh Allah yang dipakai untuk mengerjakan macam-macam hal, maka itulah tasybih. Ketika kamu membaca kata nuzul lalu tergambar di benakmu bahwa Allah bergerak turun dari atas ke bawah, maka itulah tasybih. Ketika membaca kata “istiwa’” lalu tergambar dalam benakmu bahwa Allah bertempat di atas langit, maka itulah tasybih.
Dan demikian seterusnya untuk kata-kata lain, apabila kata yang dinisbatkan pada Allah tersebut dipahami seperti makna yang ada di kamus-kamus bahasamu atau bahasa manusia yang kapasitanya hanya terbatas untuk menjelaskan eksistensi Allah Yang Maha Luas tiada terbatas, maka itulah tasybih, Mau diiringi dengan penjelasan “seperti makhluk” atau “tak seperti makhluk”, sama sekali tak berarti dalam kaidah ini sebab yang menjadi intinya adalah penetapan makna seperti yang dipahami manusia, kamu tetap menyamakan Allah itu dengan makhluk karena beranggapan Dia punya fisik dan bertempat materi.
Mari Kita Lihat Tulisan ini.
Imâm Abu Hanifah (w 150 H), dalam salah satu karyanya berjudul al-Fiqh al-Absath menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada di langit telah menjadi kafir, beliau menuliskan sebagai berikut:
“من قال لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقد كفر، وكذا من قال إنه على العرش، ولا أدري العرش أفي السماء أو في الأرض “اهـ.
“Barangsiapa berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah ia berada di langit atau berada di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas arsy, dan saya tidak tahu apakah arsy berada di langit atau berada di bumi?!” [al-Fiqh al-Absath, h. 12 (Lihat dalam kumpulan risalah al-Imâm Abu Hanifah yang di-tahqîq oleh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari)]
Dijelaskan oleh al-Imâm al-Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumûz, beliau berkata:
لأن هذا القول يوهم أن للحق مكانا، ومن توهم أن للحق مكانا فهو مشبه
““Hal itu menjadikan dia kafir kerana perkataan demikian memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat, dan sesiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka dia adalah seorang Musyabbih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” ” [Mulla Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198].
Pernyataan al-Imâm al-Izz ibn Abd as-Salam ini juga dikuatkan oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari yang berkata:
ولا شك أن ابن عبد السلام من أجل العلماء وأوثقهم، فيجب الاعتماد على نقله
“Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz ibn Abd as-Salam adalah orang yang paling paham terhadap maksud dari perkataan al-Imâm Abu Hanifah tersebut. Kerana itu kita wajib membenarkan apa yang telah beliau nyatakan” [oleh Mulla Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198].