Saya pernah ditanya seseorang, ” kenapa di dalam pembahasan tentang masalah-masalah hukum agama (bahtsul masāil), NU tidak merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits, seperti dilakukan ormas-ormas Islam lain? Kenapa para ulama NU lebih banyak merujuk kepada pendapat-pendapat fikih yang termuat di dalam kitab-kitab fikih?
Semula saya agak kesulitan menjawab pertanyaan itu, apalagi pertanyaan itu dibangun dengan frame (kerangka) semangat kembali kepada Al-Qur’an dan hadits.
Setelah membaca beberapa pendapat ulama mujtahid–baik mujtahid mutlaq seperti Imam al-Syafi’i, maupun mujtahid fatwa seperti Imam Al-Syathibi–saya baru memahami kenapa para ulama NU lebih sering merujuk kepada kitab-kitab fikih dibandingkan kepada dua sumber utama Islam secara langsung.
Para ulama NU bukan tidak mengerti tafsir al-Qur’an dan bukan tidak mengerti hadits sebagaimana sering dituduhkan beberapa oknum. Tidak sedikit ulama NU yang menguasai ilmu tafsir dan hadits. Bahkan Mbah Kyai Maimun Zubair disebut-sebut sebagai di antara ulama Nusantara yang memegang sanad ‘aly (sanad tinggi) untuk beberapa kitab hadits.
Perlu diketahui pula bahwa banyak di antara para kyai NU yang menguasai ilmu bahasa Arab, dalam maknanya lebih luas. Di antara para ulama NU yang menguasai bahasa Arab adalah Kyai Ahmad Warson Munawwir (Allah Yarhamuhu), yang melahirkan karya abadi Kamus al-Munawwir. Bukan hanya beliau, Kyai Ahmad Sahal (Allah Yarhamuhu), yang tidak pernah mengenyam pendidikan universitas di Timur Tengah, ternyata mampu menyusun kitab syarah matan fiqih dengan gaya bahasa yang boleh diadu dengan doktor-doktor lulusan Timur Tengah, dan orang Arab asli itu sendiri.
Namun dengan kualitas sumber daya manusia yang mampu melakukan ijtihad itu, para ulama NU menyadari bahwa perkara ijtihad bukanlah perkara yang sepele. Para kyai seakan ingin mengatakan, ” katakanlah kami mampu memahami menentukan mana hadits shahih, hasan, dho’if, atau palsu (maudlu’) serta memahami nasikh dan mansukhnya, tapi ijtihad tidak semata-mata berkaitan dengan kemampuan mengenali hadits.”
Para ulama NU tampaknya menyadari betul bahwa ijtihad mempunyai banyak kendala, di antaranya kendala sosiologis yang berkaitan dengan penerapan teks (nash) dan kendala kebahasaan yang jelas sangat mempengaruhi penerapan teks.
Para ulama NU tampaknya juga menyadari bahwa sebagai kelompok manusia yang terlahir bukan sebagai bangsa Arab, ada sejumlah kendala kultural yang menghalangi mereka untuk langsung mengambil pemahaman dari hadits.
Andaikan itu dilakukan–dan mereka pun mampu untuk melakukannya–akan muncul kesan terlalu memaksakan diri untuk memahami apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an dan hadits.
Memanfaatkan bantuan para ulama mujtahid dari berbagai level, bagi para ulama NU, merupakan jalan yang paling aman dari usaha memaksakan diri tersebut. Bantuan para ulama dituangkan di dalam karya-karya fiqih mereka, yang para ulama NU mempunyai jalur pemahaman yang diterima dari guru-gurunya.
Dengan bantuan ijtihad para ulama pendahulu itu, para ulama NU menempuh cara yang aman di dalam memahami ayat Al-Qur’an dan hadits, sehingga potensi kesesatan dalam menyimpulkan hukum pun dapat dihindari.
Kalau begitu apakah NU lebih mengikuti pendapat para ulama dibandingkan al-Qur’an dan hadits?
Hehehe, NU itu mengikuti Al-Qur’an dan hadits melalui jalannya para ulama, bukan jalannya dewek-dewek.
Wallohul muwaffiq ilā aqwamit thariq.
Ijin nyimak
Harus bawa kopi mbah.
Kalau ga bawa kopi ga boleh